Imajinasi 1 : Yang Hilang Tanpa Jejak

on Jumat, Agustus 21, 2009

Yang hilang tanpa jejak


Senja itu kurasakan sepertinya langit tak lagi memerah saga, tiba-tiba indah senja itu melayang-layang, aku cuma terdiam, sesaat setelah kau katakan bahwa kau akan melajutkan kuliah ke Jakarta. Itu berarti ada ribuan kilometer jarak yang akan memisahkan kita, itu berarti akan ada hamparan laut yang memisahkan kita, itu berarti akan ada ruang dan waktu yang akan membentangkan kesepian dan kenestapaan hati. Semua membuat senja itu tak bercahaya lagi untukku.


“apakah ada yang harus dirisaukan tentang kepergianku” ? tanya mu penuh naïf.


Aku tak menjawab pertanyaan mu senja itu, aku hanya menatap sekilas manik matamu, aku tahu, kau menyimpan kilauan cairan yang bercahaya, yang melumuri kornea matamu, indah memang, tapi aku tahu, kau tengah berusaha menahan tangis.


Senja hampir jatuh, saat cahaya jingga nya menembus batang-batang pohon disekitar tempat kami beranjak, daun-daun kering yang berguguran di pertengahan tahun itu, sebagian jatuh diatas pundak kami, taman hutan raya itu bertambah sepi, laksana gambaran hari-hari ku dengan ketiadaannya.


Hari itu, dua hari sebelum kepergianmu. Kau memintaku menjemput ke rumahmu, dan memintaku mengantarkan ke suatu tempat. Aku tahu, tempat ini adalah ruang tempatmu menjalani kursus piano selama ini. Kau membawaku ke lantai tiga gedung itu, saat di luar sana matahari mengganas dengan cahayanya yang tanpa ampun. Aku masuk ke suatu ruangan, mengikutimu, seluruh tubuhku merasakan kesejukan dari alat pengatur udara ruangan itu, yang seketika menyergap tubuhku.


‘Mas, kita ke piano yang di sudut itu, itu piano favorit saya selama 3 tahun ini kursus di lembaga ini, benda itu yang paling ‘dekat’ dengan ku, sebelum Mas masuk dalam kehidupanku.’

Aku hanya diam, menatap piano Grand Yamaha berwarna hitam metalic itu, kulihat dia mengatur posisi duduknya, dibukanya penutup tuts itu dengan perlahan, tanpa suara. Lalu, menoleh kepada ku,


‘Mas mari duduk disampingku, aku ingin memainkan satu lagu sembari aku menyandarkan sebagian tubuhku padamu’ Kulihat matamu saat itu bercahaya lagi, seperti bias cairan yang tengah tertahan.


Aku menuruti apa yang dia inginkan, aku seperti anak kecil, yang ada di kepalaku saat itu, cuma sebuah gambaran kehilangan yang akan menyergapku, dari waktu ke waktu tanpa batas.

Jari jemari tangan mu, yang lentik dan kuning langsat itu mulai memainkan sebuah lagu, aku kenal lagu itu. Ketika memasuki reffren lagu itu, kutahu, kau tak lagi sanggup menahan rinai hujan dari kelopak matamu, rinai itu berguguran, mengalir menelusuri kulit pipi yang demikian menguning langsat, matamu terpejam tak tertahankan, bahkan jemari tangan mu masih terus memainkan tuts-tuts yang sebagian pun pasti ada yang basah, jemari mu demikian hafal dengan lagu itu, sehingga walau tanpa melihat nya, lagu itu tetap terdengar indah.


Akhirnya kau tak mampu bertahan, sebelum lagu itu terselesaikan, kau akhirnya menangis sesunggukan di pelukan ku. Aku pun tahu, betapa tak sedikit beban yang kau tanggung dengan perpisahan ini.


Tak lagi terdengar denting piano, ruangan itu demikian senyap. Aku katakan padamu :


“Kita jalani saja keadaan ini apa adanya, keadaan tak akan berubah andaipun demikian banyak air mata yang kita tumpahkan, biarkanlah cinta ini menjadi sebuah pengembaraan diatas padang yang tanpa tepi. Hidup tak sepenuhnya nyata seperti yang ada dalam pikiran-pikiran kita, seperti rencana-rencana kita. Akupun tak sepenuhnya sanggup dengan keadaan ini, tapi semua harus kita jalani, suatu saat kita akan tahu, di pelabuhan mana cinta ini bersandar, di halte mana cinta ini akan berhenti, dan di ruang mana cinta ini akan bersemayam. Waktu akan jadi saksinya. Bersabarlah”


Kau mengangguk perlahan sembari menyeka sisa air bening dari wajahmu yang murung, ruang itu masih bisu saat kami melangkah, meninggalkan ruang kenangan itu. Matahari masih garang, masih gagah dengan cahaya nya yang demikian keras.


Pagi itu Medan basah, seusai hujan, masih terlihat ada tersisa rinai gerimis yang jatuh. Hari ini adalah waktu yang akan menerbangkanmu membelah angkasa, membelah jarak yang terbentang diantara kita. Aku tak sanggup melakukan apapun hari itu, aku terpaku di ruang kelas dimana hari itu aku menjalani ujian 2 mata kuliah, yang menyebabkan aku tak dapat mengantarkan mu ke Bandara Polonia.


Semua hal ada waktu nya, semua hal telah ditentukan saat nya. Dan keberangkatan mu juga adalah bagian dari waktu yang telah ditentukan saatnya, ada yang tak terjangkau oleh kita, karena kita cuma sebaris anak-anak kalimat yang tak mampu menjadikan keadaan menjadi punya arti. Ketidakmampuan kita hari ini, adalah mencegah sesuatu yang telah ditentukan waktunya.


Putaran waktu mengelilingi kehidupan tanpa henti, sampai suatu saat kurasakan demikian banyak waktu yang telah tertinggal, jauh sekali, tapi tak lagi dapat kutemukan dimana jejek mu, tak lagi kutahu sudah berapa banyak harap yang terlepas, sudah berapa banyak waktu yang kupindai untuk sekedar mencari bayangmu, tapi semua sia-sia. Kau tak berkabar. Jakarta terlalu kejam buatku, Jakarta meluluhlantakkan semua impian ku. Jakarta menenggelamkanmu.


Dua tahun setelah hari kita terpisah itu, kudengar kabar akhirnya, kau menikah. Tak kutahu, kenapa secepat itu, bahkan tak kutemukan sebaris kabar dari mu, sekedar kau katakan selamat tinggal untukku, atau apalah yang dapat kuyakini bahwa aku tak lagi perlu berharap, bahwa waktu juga telah menentukan sesuatu yang lain buat ku.


Di pertengahan bulan ke-30 setelah perpisahan kita itu, tiba-tiba aku menerima sepucuk surat tanpa pengirim. Tapi aku tahu, tulisan tangan di sampul surat itu adalah garis-garis pena dari jemarimu, aku tahu itu, aku tergetar saat itu, seluruh persendianku terasa bergetar sesaat surat itu aku buka.


Aku baru mendapatkan keyakinan,

bahwa kau adalah lelaki terbaik yang pernah kukenal,

kau yang terbaik buat ku, tapi aku mengkhianatimu.

Aku minta maaf untuk semua luka yang aku buat untukmu,

biar aku menanggung semua hari ini,

semuanya.


Aku terpaku, tegak dalam berdiriku, sesaat setelah kubaca surat mu yang pendek itu. Aku tak mampu menterjemahkan, apakah yang tengah terjadi padamu. Dan sampai kini, semuanya tak terjawab. Tak ada ruang dan waktu bagiku untuk mencari jawab atas semuanya, aku tahu, bahwa aku telah berusaha menjadi yang terbaik buat mu. Tapi semua hal ada batas waktu, aku tak mampu melukis indah di setiap waktu dalam jalan hidupku, karena semua sudah ada Zat yang mengatur.


Dan semuanya kini hilang tanpa jejak, aku meyakini bahwa semua yang terbaik, yang ku lakukan adalah untukku. Aku tak menginginkan untuk menjabarkan pengkhianatanmu sebagai sebuah episode paling buruk dalam hidupku. Karena semua cerita hidupku bukanlah kau yang menuliskannya, tapi Zat itu yang punya rekayasa pasti, bahwa aku akan dan harus melewati rute perjalanan ini. Sebuah rute yang akhirnya kuketahui sebagai tanpa jejak, tanpa bayang, tanpa sesiapa.


Medan, agustus 2009

4 komentar:

Enno mengatakan...

jadi akhirnya dia menikah dengan orang lain ya?

ah what a life...

tapi nanti juga dapat pengganti yang lebih baik lagi..

amin

salam kenal :)

Koez Arraihan mengatakan...

Enno...
terima kasih ya telah berkenan berkunjung ke 'rumah' ku....dan membaca dan memberikan komentar....aku tak sebagus kamu ya dalam menulis....tapi aku sdh senang, karena paling tidak, aku sdh berani menuliskan sesuatu yang ada dalam ruang-ruang hidupku....

Salam kenal kembali yaa.....Enno.

||alis|| mengatakan...

salam buat bapak...

harapnya kehadiran komentar di ruangan ini diterimamu dengan senang hati.

alis terharu membaca ungkapan2 bapak dlm blog alis. sungguh indah dan halus bahasanya.

semoga pandangan dan ucapan2 penguat semangat yg bapak titipkan itu bisa buat alis tenang. setenang air di sungai demi meniti senbuah kehidupan dan demi mencari 'fahri'ku. amin.

salam kenal dari alis, malaysia.

sisiungu mengatakan...

berpisah untuk bertemu seseorang yg lain..