Yang hilang tanpa jejak
Senja itu kurasakan sepertinya langit tak lagi memerah saga, tiba-tiba indah senja itu melayang-layang, aku cuma terdiam, sesaat setelah kau katakan bahwa kau akan melajutkan kuliah ke
“apakah ada yang harus dirisaukan tentang kepergianku” ? tanya mu penuh naïf.
Aku tak menjawab pertanyaan mu senja itu, aku hanya menatap sekilas manik matamu, aku tahu, kau menyimpan kilauan cairan yang bercahaya, yang melumuri kornea matamu, indah memang, tapi aku tahu, kau tengah berusaha menahan tangis.
Senja hampir jatuh, saat cahaya jingga nya menembus batang-batang pohon disekitar tempat kami beranjak, daun-daun kering yang berguguran di pertengahan tahun itu, sebagian jatuh diatas pundak kami, taman hutan raya itu bertambah sepi, laksana gambaran hari-hari ku dengan ketiadaannya.
Hari itu, dua hari sebelum kepergianmu. Kau memintaku menjemput ke rumahmu, dan memintaku mengantarkan ke suatu tempat. Aku tahu, tempat ini adalah ruang tempatmu menjalani kursus piano selama ini. Kau membawaku ke lantai tiga gedung itu, saat di luar sana matahari mengganas dengan cahayanya yang tanpa ampun. Aku masuk ke suatu ruangan, mengikutimu, seluruh tubuhku merasakan kesejukan dari alat pengatur udara ruangan itu, yang seketika menyergap tubuhku.
‘Mas, kita ke piano yang di sudut itu, itu piano favorit saya selama 3 tahun ini kursus di lembaga ini, benda itu yang paling ‘dekat’ dengan ku, sebelum Mas masuk dalam kehidupanku.’
Aku hanya diam, menatap piano Grand Yamaha berwarna hitam metalic itu, kulihat dia mengatur posisi duduknya, dibukanya penutup tuts itu dengan perlahan, tanpa suara. Lalu, menoleh kepada ku,
‘Mas mari duduk disampingku, aku ingin memainkan satu lagu sembari aku menyandarkan sebagian tubuhku padamu’ Kulihat matamu saat itu bercahaya lagi, seperti bias cairan yang tengah tertahan.
Aku menuruti apa yang dia inginkan, aku seperti anak kecil, yang ada di kepalaku saat itu, cuma sebuah gambaran kehilangan yang akan menyergapku, dari waktu ke waktu tanpa batas.
Jari jemari tangan mu, yang lentik dan kuning langsat itu mulai memainkan sebuah lagu, aku kenal lagu itu. Ketika memasuki reffren lagu itu, kutahu, kau tak lagi sanggup menahan rinai hujan dari kelopak matamu, rinai itu berguguran, mengalir menelusuri kulit pipi yang demikian menguning langsat, matamu terpejam tak tertahankan, bahkan jemari tangan mu masih terus memainkan tuts-tuts yang sebagian pun pasti ada yang basah, jemari mu demikian hafal dengan lagu itu, sehingga walau tanpa melihat nya, lagu itu tetap terdengar indah.
Akhirnya kau tak mampu bertahan, sebelum lagu itu terselesaikan, kau akhirnya menangis sesunggukan di pelukan ku. Aku pun tahu, betapa tak sedikit beban yang kau tanggung dengan perpisahan ini.
Tak lagi terdengar denting piano, ruangan itu demikian senyap. Aku katakan padamu :
“Kita jalani saja keadaan ini apa adanya, keadaan tak akan berubah andaipun demikian banyak air mata yang kita tumpahkan, biarkanlah cinta ini menjadi sebuah pengembaraan diatas
Kau mengangguk perlahan sembari menyeka sisa air bening dari wajahmu yang murung, ruang itu masih bisu saat kami melangkah, meninggalkan ruang kenangan itu. Matahari masih garang, masih gagah dengan cahaya nya yang demikian keras.
Pagi itu
Semua hal ada waktu nya, semua hal telah ditentukan saat nya. Dan keberangkatan mu juga adalah bagian dari waktu yang telah ditentukan saatnya, ada yang tak terjangkau oleh kita, karena kita cuma sebaris anak-anak kalimat yang tak mampu menjadikan keadaan menjadi punya arti. Ketidakmampuan kita hari ini, adalah mencegah sesuatu yang telah ditentukan waktunya.
Putaran waktu mengelilingi kehidupan tanpa henti, sampai suatu saat kurasakan demikian banyak waktu yang telah tertinggal, jauh sekali, tapi tak lagi dapat kutemukan dimana jejek mu, tak lagi kutahu sudah berapa banyak harap yang terlepas, sudah berapa banyak waktu yang kupindai untuk sekedar mencari bayangmu, tapi semua sia-sia. Kau tak berkabar.
Dua tahun setelah hari kita terpisah itu, kudengar kabar akhirnya, kau menikah. Tak kutahu, kenapa secepat itu, bahkan tak kutemukan sebaris kabar dari mu, sekedar kau katakan selamat tinggal untukku, atau apalah yang dapat kuyakini bahwa aku tak lagi perlu berharap, bahwa waktu juga telah menentukan sesuatu yang lain buat ku.
Di pertengahan bulan ke-30 setelah perpisahan kita itu, tiba-tiba aku menerima sepucuk
Aku baru mendapatkan keyakinan,
bahwa kau adalah lelaki terbaik yang pernah kukenal,
kau yang terbaik buat ku, tapi aku mengkhianatimu.
Aku minta maaf untuk semua luka yang aku buat untukmu,
biar aku menanggung semua hari ini,
semuanya.
Aku terpaku, tegak dalam berdiriku, sesaat setelah kubaca
Dan semuanya kini hilang tanpa jejak, aku meyakini bahwa semua yang terbaik, yang ku lakukan adalah untukku. Aku tak menginginkan untuk menjabarkan pengkhianatanmu sebagai sebuah episode paling buruk dalam hidupku. Karena semua cerita hidupku bukanlah kau yang menuliskannya, tapi Zat itu yang punya rekayasa pasti, bahwa aku akan dan harus melewati rute perjalanan ini. Sebuah rute yang akhirnya kuketahui sebagai tanpa jejak, tanpa bayang, tanpa sesiapa.
Medan, agustus 2009