Kau adalah waktu yang diam

on Selasa, Maret 30, 2010

Pernah kukatakan pada matahari,
yang cahayanya menembus rerimbunan daun bambu,
tentang serpihan-serpihan kegundahan ku,
yang ku susun dalam kisi paruh jiwaku yang nyaris lumpuh.
Lalu kubiarkan dedaunan bambu itu berbisik-bisik tentang risauku,
yang tak lagi terkatakan oleh bibirku,
dan angin pun,
lalu menerbangkan gemerisik suara dari rerimbunan bambu itu,
pada semua cahaya yang mampu menembus waktu,
yang kuyakin kau ada di salah satu ruang dan waktu itu.

Sempat pula kutuliskan rangkaian makna-makna dari air mataku,
yang jatuh dalam sujudku dibawah cahaya rembulan,
di belahan paruh malam dengan waktu-waktu yang kesepian,
tentang gelegar ketidakberdayaan ku melawan keheningan.
Lalu aku biarkan desiran angin melayangkan semua air mata sujudku, mengembara melintasi jarak-jarak yang tak mampu kutempuh,
sekedar masuk ke dalam luruh jiwamu,
dan akan aku biarkan,
kau merasakan, betapa risau-risau ku seperti mata pisau yang sering membelahku dalam diam.

Aku cuma tubuh dengan sebilah pena kecil,
yang selalu mencatat semua jejak mu yang mungkin masih dapat aku susun menjadi seberkas senyum dalam luruh jiwaku.
Aku sering tak sempat menyimpan,
kemana makna dan waktu ini,
karena langkah ku hanya tersisa dalam hitungan detak.
Jika aku sempat,
esok pagi saat dedaunan itu berbisik kembali,
aku akan membunuh semua waktu,
agar kau tak lagi dibawanya melayang,
yang dengan demikian,
kau adalah waktu yang diam, bagiku,
berdiri di tepi lenganku.

Pebruari, 2010

1 komentar:

Iyut A.C.N mengatakan...

menyimak kisahmu mas,salam