Tanpa Suara

on Rabu, Maret 31, 2010

Aku tengah mengingat-ingat waktu dan hari dimana saat pertama kali aku mengenalmu. Saat senja akan jatuh, ketika sebuah pesan pendek masuk ke telepon genggamku. Kubuka, agaknya pesan yang salah kirim, karena nomor dan isi pesan, sama sekali tak kukenal. Aku balas pesan pendek itu dengan pesan yang pendek : maaf, Anda salah kirim. Tak lama, pesanku itu dibalas lagi dengan basa basi, dan seperti sebuah kejadian kamuflase, pesan pendek yang nyasar itu malah menjadi awal perkenalan kita. Norak sebenarnya.
Waktu dan masa seperti berlari-lari dan saling kejar, seperti itulah perkenalan kita, cepat dan tanpa terasa sudah memasuki tahun ke tiga. Waktu yang saling kejar itu, membuatku mengenalmu lebih banyak, tentang dirimu, tentang asalmu dari kota kecil di Jawa Barat,. Juga sering kamu bertutur tentang pernikahan mu, bahkan sesekali kamu berbicara tentang suamimu. Tentang rumah kalian di Jakarta, dan tentang bisnis restoran yang dijalankan suamimu. Dan semuanya, cerita-cerita itu, mengalir seperti air yang menembus jejaring waktu, tanpa batas.

Aku kini tengah mengingatmu, aku bayangkan tubuhmu terbujur lemah, kau tengah mencari kekuatan besar untuk melawan kanker yang mengendap dalam otak mu, ya kanker ganas itu tengah menyerang bagian penting dari tubuhmu itu. Aku masih termangu, hampir satu setengah jam kita ber-sms, baru saja selesai. Kau sepertinya nyaris putus asa, sampai kau mengatakan bahwa sangat jarang orang yang dapat lolos dari maut saat selesai di bedah, oleh kanker yang satu ini.
Aku yakin, Allah punya kehendak atas apapun yang terjadi padamu, itu yang kukatakan padamu. Manusia tak punya kemampuan untuk membuat batasan dan definisi tentang waktu kematian. Aku katakan, kamu tak perlu putus asa, tak perlu menangis, tak perlu takut dengan hal apapun yang akan kau hadapi esok hari di ruang bedah itu. Ya, kamu khusus mengajakku berbincang via sms, ditengah-tengah keluargamu yang tengah menjengukmu. Kamu itu memang aneh, tengah sakit demikian hebat, kamu malah minta ijin suamimu hanya untuk berbincang via sms dengan ku. Aku hanya dapat katakan padamu, bahwa aku akan berdoa untuk keselamatanmu, untuk kemudahan para dokter yang akan bertugas esok pagi itu, untuk kekuatanmu menjalani pertarungan yang hebat ini.

Jadilah malam itu, aku sulit tertidur, hampir tangah malam aku tertidur, dan sekitar jam 03.15 aku terbangun lagi, karena alarm ku berbunyi, dan aku tunaikan tahajjud malam itu…seluruh doa yg terurai yang aku ijabkan pada Sang Khalik untuk aku fadillah kan bagimu. Dan seluruh doa itu meluncur seperti juga meluncurnya air mataku yg tak tertahankan….
Tiga hari kemudian aku mencoba menelpon ke nomor mu, dan diangkat seorang pria, yang akhirnya kutahu itu suamimu. Kami lantas berbincang sangat lama, tentang penyakitmu, tentang mu seutuhnya.

Demikianlah waktu, yang dengan ruang-ruang nya, diberikannya kita tempat untuk saling berbagi….aku mulai merenungkan perjalanan kita ini, aku mulai tak yakin dengan apa yang kurasakan…bahkan tatkala akhirnya aku mengetahui bahwa kau selamat dari kanker ganas itu, aku merasakan kebahagiaan itu laksana curahan hujan ke tubuhku…aku basah tanpa tersisa…!

Lalu aku biarkan waktu menindas semua cerita kita, aku pisahkan cerita kita dengan dunia yang tak mampu kita menjangkaunya. Aku tak menyalahkan rasa kasih mu itu, tapi aku merasa kita bercengkrama di ruang yang salah. Seperti juga air kali itu, aku hanyutkan semuanya agar terbawa arus sampai dimana cerita itu terdampar.

Hari ini aku menyaksikan dari kejauhan kasih mu itu menyendiri tanpa sesiapa, siang tak jelas wujudnya, namun dimalam hari kerlip nya masih terpancar walaupun redup. Redup sekali.

Seperti diriku yang sampai kini tak mengetahui wujud wajahmu, bahkan suaramu pun tak kuketahui dentingan nya. Karena hanya pesan pendek yang menemani kita. Demikianlah redupnya. Redup sekali.

0 komentar: